BERPIKIR
KRITIS (CRITICAL THINKING)
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Strategi Belajar Mengajar
Dosen Pengampuh Dr.Suranto, M.Pd
Oleh:
Rusydah
Binta Qur-aniyah (120210302032)
PRODI
PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN
ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul“ Berpikir
Kritis (Critical Thinking)”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah
satu syarat menyelesaikan materi kuliah Strategi Belajar Mengajar.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari
bentuk berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis disini menyampaikan terima
kasih kepada:
1. Dr. Suranto, M.Pd., yang telah memberikan bimbingan
dan arahan dalam pembuatan makalah ini.
2.
Teman-teman yang telah memberikan motivasi, dan telah memberikan masukan-masukan
dalam pembuatan makalah ini.
3.
Para penulis yang sumber penulisannya telah kami kutip sebagai bahan
rujukan.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat kepada pembaca dan juga membantu pembaca untuk lebih memahami mengenai
materi trategi
Belajar Mengajar. Selain itu penulis juga
menerima segala kritikan dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan makalah
ini.
Jember, 5 Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
halaman
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan
mempunyai peranan penting dalam suatu bangsa. Pendidikan harus dikembangkan
secara terus menerus sesuai dengan perkembangan zaman. Melalui pendidikan
diharapkan bangsa Indonesia dapat meningkatkan kualitas mutu pendidikan.
Pendidikan nasional bertujuan meningkatkan sumber daya manusia yang beriman,
bertaqwa, berbudi pekerti, berdisiplin, bertanggung jawab, mandiri dan cerdas.
Mengingat akan pentingnya peranan pendidikan, pemerintah terus menerus berupaya
meningkatkan mutu pendidikan dengan seoptimal mungkin. Usaha yang telah
dilakukan pemerintah antara lain perbaikan dan pengembangan kurikulum,
peningkatan mutu guru berupa penataran, pelatihan, seminar serta peningkatan
sarana dan prasarana. Tujuan dari semua usaha tersebut adalah untuk meningkatkan
hasil belajar siswa.
Mengajar
bukan hanya menyampaikan materi pelajaran, tetapi melatih kemampuan siswa untuk
berpikir, menggunakan struktur kognitifnya secara penuh dan terarah. Materi
pelajaran digunakan sebagai alat untuk melatih kemampuan berpikir, bukan
sebagai tujuan. Mengajar yang hanya menyampaikan informasi akan membuat siswa
kehilanagn motivasi dan konsentrasinya. Mengajar adalah mengajak siswa
berpikir, sehingga kemampuan berpikir siswa akan terbentuk siswa yang cerdas
dan mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi Proses
belajar mengajar dapat berhasil dengan baik apabila terdapat interaksi timbal
balik antara guru dengan siswa dan siswa dengan guru dalam hal kegiatan
pembelajaran dan aktivitas para siswa baik dari kelompok maupun individu.
Melalui pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa, siswa hendaknya dapat
meningkatkan pemahaman dan penguasaan bahan pelajaran.
Keberhasilan suatu proses pembelajaran sangat
dipengaruhi oleh ketepatan pemelilihan strategi pembelajaran yang digunakan.
Strategi pembelajaran merupakan suatu kegiatan pembelajaran yang harus
dikerjakan oleh guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada
kemampuan siswa untuk menghapal informasi. Padahal keterampilan berpikir kritis
merupakan salah satu modal dasar atau modal intelektual yang sangat penting
bagi setiapa orang dan merupakan bagian yang fundamental dari kematangan
manusia. Oleh karena itu pengembangan keterampilan berpikir kritis menjadi
sangat penting bagi siswa disetiap jenjang pendidikan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
rincian yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa definisi berpikir
kritis (Critical Thinking)?
2.
Bagaimana teori berpikir
kritis (Critical Thinking)?
3.
Apa saja factor yang
mempengaruhi berpikir kritis (Critical Thinking)?
4.
Bagaimana
perkembangan berpikir kritis (Critical Thinking)?
1.3 Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah diatas, tujuan
dari makalah ini yaitu untuk mengetahui
dan memahami:
1.
Mengetahui definisi
berpikir
kritis (Critical Thinking).
2.
Mengetahui teori
berpikir
kritis (Critical Thinking).
3.
Mengetahui
kemajuan factor yang mempengaruhi berpikir kritis (Critical Thinking).
4.
Mengetahui perkembangan
berpikir
kritis (Critical Thinking).
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Berpikir Kritis (Critical Thinking)
Berpikir kritis merupakan salah satu keterampilan
tingkat tinggi yang sangat penting diajarkan kepada siswa selain keterampilan berpikir kreatif. Apa itu berpikir kritis?
Berikut ini disajikan 10 buah definisi mengenai berpikir kritis (keterampilan berpikir kritis).
1. Definisi berpikir kritis menurut
Ennis (1962) : Berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif
dengan menekankan pada pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai
atau dilakukan.
2. Definisi berpikir kritis menurut
Beyer (1985) : Berpikir kritis adalah kemampuan (1) menentukan kredibilitas
suatu sumber, (2) membedakan antara yang relevan dari yang tidak relevan, (3)
membedakan fakta dari penilaian, (4) mengidentifikasi dan mengevaluasi asumsi
yang tidak terucapkan, (5) mengidentifikasi bias yang ada, (6) mengidentifikasi
sudut pandang, dan (7) mengevaluasi bukti yang ditawarkan untuk mendukung
pengakuan.
3. Definisi berpikir kritis menurut
Mustaji (2012): Berpikir kristis adalah berpikir secara beralasan dan reflektif
dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau
dilakukan. Berikut adalah contoh-contoh kemampuan berpikir kritis, misalnya (1)
membanding dan membedakan, (2) membuat kategori, (2) meneliti bagian-bagian
kecil dan keseluruhan, (3) menerangkan sebab, (4) membuat sekuen / urutan, (5)
menentukan sumber yang dipercayai, dan (6) membuat ramalan.
4. Definisi berpikir kritis menurut
Walker (2006) :Berpikir kritis adalah suatu proses intelektual dalam pembuatan
konsep, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesis, dan atau mengevaluasi
berbagai informasi yang didapat dari hasil observasi, pengalaman, refleksi, di
mana hasil proses ini diguanakan sebagai dasar saat mengambil tindakan.
5. Definisi berpikir kritis menurut
Hassoubah (2007):Berpikir kritis adalah kemampuan memberi alasan secara
terorganisasi dan mengevaluasi kualitas suatu alasan secara sistematis.
6. Definisi berpikir kritis menurut Chance
(1986) :Berpikir kritis adalah kemampuan untuk menganalisis fakta, mencetuskan
dan menata gagasan, mempertahankan pendapat, membuat perbandingan, menarik
kesimpulan, mengevaluasi argumen dan memecahkan masalah.
7. Definisi berpikir kritis menurut
Mertes (1991) :Berpikir kritis adalah sebuah proses yang sadar dan sengaja yang
digunakan untuk menafsirkan dan mengevaluasi informasi dan pengalaman dengan
sejumlah sikap reflektif dan kemampuan yang memandu keyakinan dan tindakan.
8. Definisi berpikir kritis menurut
Paul (1993) :Berpikir kritis adalah mode berpikir – mengenai hal, substansi
atau masalah apa saja – di mana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya
dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran
dan menerapkan standar-standar intelektual padanya.
9. Definisi berpikir kritis menurut
Halpern (1985) :Berpikir kritis adalah pemberdayaan kognitif dalam mencapai
tujuan.
10. Definisi berpikir kritis menurut
Angelo (1995):Berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir
yang tinggi, meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenali
permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan serta mengevaluasi.
Kesimpulan berpikir kritis
merupakan suatu proses berpikir kognitif dengan konsep dasar menggabungkan kemampuan intelektual dan
kemampuan berpikir untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu dalam kehidupan,
sehingga bentuk ketrampilan berpikir yang dibutuhkan pun akan berbeda untuk
masing–masing disiplin ilmu.
Beberapa kriteria yang dapat kita jadikan standar dalam proses berpikir
kritis ini adalah kejelasan (clarity), tingkat akurasi (accuracy), tingkat
kepresisian (precision) relevansi (relevance), logika berpikir yang digunakan
(logic), keluasan sudut pandang (breadth), kedalaman berpikir (depth),
kejujuran (honesty), kelengkapan informasi (information) dan bagaimana
implikasi dari solusi yang kita kemukakan (implication).
Adapun indicator berpikir kritis menurut Wade (1995) mengidentifikasi
delapan karakteristik berpikir kritis, yakni meliputi:
1) kegiatan
merumuskan pertanyaan,
2) membatasi
permasalahan,
3) menguji data-data,
4) menganalisis berbagai pendapat dan bias,
5) menghindari pertimbangan yang sangat
emosional,
6) menghindari penyederhanaan berlebihan,
7) mempertimbangkan berbagai interpretasi, dan
8) mentoleransi
ambiguitas.
Karakteristik lain yang berhubungan dengan berpikir kritis, dijelaskan
Beyer (1995: 12-15) secara lengkap dalam buku Critical Thinking, yaitu:
a) Watak
(dispositions)
Seseorang
yang mempunyai keterampilan berpikir kritis mempunyai sikap skeptis, sangat
terbuka, menghargai sebuah kejujuran, respek terhadap berbagai data dan
pendapat, respek terhadap kejelasan dan ketelitian, mencari pandangan-pandangan
lain yang berbeda, dan akan berubah sikap ketika terdapat sebuah pendapat yang
dianggapnya baik.
b) Kriteria
(criteria)
Dalam
berpikir kritis harus mempunyai sebuah kriteria atau patokan. Untuk sampai ke
arah sana maka harus menemukan sesuatu untuk diputuskan atau dipercayai.
Meskipun sebuah argumen dapat disusun dari beberapa sumber pelajaran, namun
akan mempunyai kriteria yang berbeda. Apabila kita akan menerapkan standarisasi
maka haruslah berdasarkan kepada relevansi, keakuratan fakta-fakta,
berlandaskan sumber yang kredibel, teliti, tidak bias, bebas dari logika yang
keliru, logika yang konsisten, dan pertimbangan yang matang.
c) Argumen
(argument)
Argumen
adalah pernyataan atau proposisi yang dilandasi oleh data-data. Keterampilan
berpikir kritis akan meliputi kegiatan pengenalan, penilaian, dan menyusun
argumen.
d) Pertimbangan
atau pemikiran (reasoning)
Yaitu kemampuan
untuk merangkum kesimpulan dari satu atau beberapa premis. Prosesnya akan
meliputi kegiatan menguji hubungan antara beberapa pernyataan atau data.
e) Sudut
pandang (point of view)
Sudut pandang
adalah cara memandang atau menafsirkan dunia ini, yang akan menentukan
konstruksi makna. Seseorang yang berpikir dengan kritis akan memandang sebuah
fenomena dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
f) Prosedur
penerapan kriteria (procedures for applying criteria)
Prosedur
penerapan berpikir kritis sangat kompleks dan prosedural. Prosedur tersebut
akan meliputi merumuskan permasalahan, menentukan keputusan yang akan diambil,
dan mengidentifikasi perkiraan-perkiraan.
Selanjutnya, Ennis (1985: 55-56), mengidentifikasi 12 indikator berpikir
kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut:
a. Memberikan
penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis
pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan
atau pernyataan.
b. Membangun
keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan apakah sumber dapat
dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil
observasi.
c. Menyimpulkan,
yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi,
meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan
nilai pertimbangan.
d. Memberikan
penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan
definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi.
e. Mengatur
strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi
dengan orang lain.
Komponen berpikir kritis terdiri atas standar yang harus ada dalam
berpikir kritis dan elemennya. Menurut Bassham (2002) komponen berpikir kritis
mencakup aspek kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, konsistensi,
kebenaran logika, kelengkapan dan kewajaran. sedangkan menurut Paul dan Elder
(2002) selain aspek–aspek yang telah dikemukakan oleh Bassham perlu ditambahkan
dengan aspek keluasan kemaknaan dan kedalaman dari berpikir kritis.
Pendapat mengenai komponen berpikir kritis juga sangat bervariasi. Para
ahli membuat konsensus tentang komponen inti berpikir kritis seperti
interpretasi, analisi, evaluasi, inference, explanation dan self regulation
(APPA, 1990).
Definisi dari masing–masing komponen tersebut adalah :
1) interpretasi,
kemampuan untuk mengerti dan menyatakan arti atau maksud suatu pengalaman yang
bervariasi luas, situasi, data, peristiwa, keputusan, konvesi, kepercayaan,
aturan, prosedur atau kriteria.
2) Analysis,
kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan kesimpulan yang benar di dalam
hubungan antara pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi atau bentuk
pernyataaan yang diharapkan untuk manyatakan kepercayaan, keputusan,
pengalaman, alasan, informasi atau pendapat.
3) evaluasi,
kemampuan untuk menilai kredibilitas pernyataan atau penyajian lain dengan
menilai atau menggambarkan persepsi seseorang, pengalaman, situasi, keputusan,
kepercayaan dan menilai kekuatan logika dari hubungan inferensial yang
diharapkan atau hubungan inferensial yang aktual diantara pernyataan,
deskripsi, pertanyaan atau bentuk–bentuk representasi yang lain.
4) inference,
kemampuan untuk mengidentifikasi dan memilih unsur-unsur yang diperlukan untuk
membentuk kesimpulan yang beralasan atau untuk membentuk hipotesis dengan
memperhatikan informasi yang relevan.
5) explanation,
kemampuan untuk menyatakan hasil proses reasoning seseorang, kemampuan untuk
membenarkan bahwa suatu alasan berdasar bukti, konsep, metodologi, suatu
kriteria tertentu dan pertimbangan yang masuk akal, dan kemampuan untuk
mempresentasikan alasan seseorang berupa argumentasi yang meyakinkan.
6) Self-
regulation, kesadaran seseorang untuk memonitor proses kognisi dirinya,
elemen–elemen yang digunakan dalam proses berpikir dan hasil yang dikembangkan,
khususnya dengan mengaplikasikan ketrampilan dalam menganalisis dan
mengevaluasi kemampuan diri dalam mengambil kesimpulan dengan bentuk
pertanyaan, konfirmasi, validasi atau koreksi terhadap alasan dan hasil
berpikir (APPA, 1990).
2.2 Teori Berpikir Kritis (Critical Thinking)
Teori Kritis Nicholas Burbules dan Rupert Berk menyatakan: The Critical
Thinking tradition concerns itself primarily with criteria of epistemic
adequacy: to be “critical” basically means to be more discerning in recognizing
faulty arguments, hasty generalizations, assertions lacking evidence, truth
claims based on unreliable authority, ambiguous or obscure concepts, and so
forth. For the Critical Thinker, people do not sufficiently analyze the reasons
by which they live, do not examine the assumptions, commitments, and logic of
daily life.
Jadi, berpikir kritis lebih konsentrasi dalam mengkaji kesalahan logika
berpikir, juga konsep-konsep yang ambigu. Berpikir kritis dengan demikian
adalah berpikir di luar kewajaran (thinking out of the box) yang
dilakukan banyak orang. Dengan kata lain tidak berpikir secara linier,
melainkan unlinier sebagai bentuk kritik logika berpikir awam.
Nicholas Burbules dan Rupert Berk menyatakan bahwa perangkat berpikir
kritis utamanya adalah kemampuan logika formal dan informal, analisis
konseptual dan epistemologis. Nicholas Burbules dan Rupert Berk juga mengutip
Harvey Siegel yang menyatakan bahwa, “Critical thinking aims at
self-sufficiency, and a self-sufficient person is a liberated person…free from
the unwarranted and undesirable control of unjustified beliefs.”
Kegiatan berpikir kritis terdiri
dari merumuskan, menganalisis, memecahkan masalah, menyimpulkan dan
mengevaluasi. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1) Merumuskan: memberikan batasan dari objek yang
diamati. Misalnya dalam mata pelajran sejarah kegiatan merumuskan ini digunakan
siswa untuk mengemukakan fakta dari materi yang dipelajari, karena fakta
merupakan kerangka berpikir dalam sejarah. Menurut Mestika Zed (2003:51) fakta
adalah “tulang punggung” bangunan pengetahuan sejarah. Dapat dicontohkan
dengan; “Adipati Unus menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1513 M”.
2) Pernyataan atau kalimat tersebut memang telah
terjadi penyerangan Adipati Unus ke Malaka yang dikuasai oleh Portugis pada
tahun 1513 M atau adanya usaha Adipati Unus untuk menyerang Portugis pada tahun
1513 M. Menganalisis: proses menelaah, mengupas, ulasan, atau menguraikan ke dalam
bagian-bagian yang lebih terperinci. Oleh sebab itu, pertanyaan mengapa (why)
yang dikemukakan dalam menganalisis suatu peristiwa sejarah. Dalam hal ini yang
dianalisis adalah sebab-akibat suatu peristiwa yang terjadi setelah merumuskan
fakta.
3) Memecahkan Masalah: proses berpikir yang
mengaplikasikan konsep kepada beberapa pengertian baru. Tujuannya adalah agar
siswa mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep dalam permasalahan atau ruang
lingkup baru. Dalam hal ini konsep-konsep digunakan dalam menjelaskan hubungan
sebab-akibat dari suatu peristiwa sejarah.
4) Menyimpulkan: proses berpikir yang memperdaya
pengetahuan sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan
baru. Menurut Mestika Zed (2003:3) penarikan kesimpulan tujuannya adalah
mencari atau menguji pengeahuan yang bersifat umum yang disebut generalisasi
(pernyataan yang menyatakan hubungan antara konsep-konsep dan berfungsi sebagai
pembantu untuk berpikir dan mengerti) yang tidak harus terikat dengan waktu dan
tempat. Salah satu contohnya adalah: Keruntuhan Kerajaan Majapahit adalah
alasan-alasan yang serupa yang telah menghancurkan kerajaan-kerajaan lainnya,
terutama karena lemahnya kepemimpinan raja dan perpecahan yang terjadi dalam
lingkungan kerajaan.
5) Mengevaluasi: proses penilaian objek yang
diamati. Penilaian ini bisa menjadi netral, positif, dan negatif atau gabungan
dari keduanya. Saat sesuatu dievaluasi biasanya orang yang mengevaluasi
mengambil keputusan tentang nilai atau manfaatnya. Dalam taksonomi belajar
Bloom mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang tinggi. Pada tahap
siswa dituntut agar mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam
menilai sebuah fakta atau konsep.
Pendekatan belajar yang diperlukan
dalam meningkatkan pemahaman terhadap materi yang dipelajari dipengaruhi oleh
perkembangan proses mental yang digunakan dalam berpikir (perkembangan
kognitif) dan konsep yang digunakan dalam belajar. Perkembangan merupakan proses
perubahan yang terjadi sepanjang waktu ke arah positif. Jadi perkembangan
kognitif dalam pendidikan merupakan proses yang harus difasilitasi dan
dievaluasi pada diri siswa sepanjang waktu mereka menempuh pendidikan termasuk
kemampuan berpikir kritis.
Salah satu komponen berpikir kritis
yang perlu dikembangkan adalah keterampilan intelektual. Keterampilan
intelektual merupakan seperangkat keterampilan yang mengatur proses yang
terjadi dalam benak seseorang. Berbagai jenis keterampilan dapat dimasukkan sebagai
keterampilan intelektual yang menjadi kompetensi yang akan dicapai pada pogram
pengajaran. Keterampilan tersebut perlu diidentifikasi untuk dimasukkan baik
sebagai kompetensi yang ingin dicapai maupun menjadi pertimbangan dalam
menentukan proses pengajaran.
Bloom mengelompokkan keterampilan
intelektual dari ketrampilan yang sederhana sampai yang kompleks antara lain
pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Keterampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi pada taksonomi Bloom
merupakan keterampilan pada tingkat yang lebih tinggi (Higher Order Thinking)
(Cotton K.,1991). Kesepakatan yang diperoleh dari hasil lokakarya American
Philosophical Association (APA, 1990) tentang komponen keterampilan intelektual
yang diperlukan pada berpikir kritis antara lain interpretation, analysis,
evaluation, inference, explanation, dan self regulation (Duldt-Battey
BW, 1997).
2.3 Faktor yang Mempengaruhi Berpikir Kritis (Critical Thinking)
Ada
beberapa faktor yang mempengaruhi berpikir kritis siswa, diantaranya:
1.
Kondisi
fisik: menurut Maslow dalam Siti Mariyam (2006:4) kondisi fisik adalah
kebutuhan fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk menjalani kehidupan.
Ketika kondisi fisik siswa terganggu, sementara ia dihadapkan pada situasi yag
menuntut pemikiran yang matang untuk memecahkan suatu masalah maka kondisi
seperti ini sangat mempengaruhi pikirannya. Ia tidak dapat berkonsentrasi dan
berpikir cepat karena tubuhnya tidak memungkinkan untuk bereaksi terhadap
respon yanga ada.
2.
Motivasi:
Kort (1987) mengatakan motivasi merupakan hasil faktor internal dan eksternal.
Motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan, dorongan ataupun pembangkit
tenaga seseorang agar mau berbuat sesuatu atau memperlihatkan perilaku tertentu
yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Menciptakan minat adalah cara yang sangat baik untuk memberi motivasi pada diri
demi mencapai tujuan. Motivasi yang tinggi terlihat dari kemampuan atau
kapasitas atau daya serap dalam belajar, mengambil resiko, menjawab pertanyaan,
menentang kondisi yang tidak mau berubah kearah yang lebih baik, mempergunakan
kesalahan sebagai kesimpulan belajar, semakin cepat memperoleh tujuan dan
kepuasan, mempeerlihatkan tekad diri, sikap kontruktif, memperlihatkan hasrat
dan keingintahuan, serta kesediaan untuk menyetujui hasil perilaku.
3.
Kecemasan:
keadaan emosional yang ditandai dengan kegelisahan dan ketakutan terhadap
kemungkinan bahaya. Menurut Frued dalam Riasmini (2000) kecemasan timbul secara
otomatis jika individu menerima stimulus berlebih yang melampaui untuk
menanganinya (internal, eksternal). Reaksi terhadap kecemasan dapat bersifat;
a) konstruktif, memotivasi individu untuk belajar dan mengadakan perubahan
terutama perubahan perasaan tidak nyaman, serta terfokus pada kelangsungan
hidup; b) destruktif, menimbulkan tingkah laku maladaptif dan disfungsi yang
menyangkut kecemasan berat atau panik serta dapat membatasi seseorang dalam
berpikir.
4.
Perkembangan
intelektual: intelektual atau kecerdasan merupakan kemampuan mental seseorang
untuk merespon dan menyelesaikan suatu persoalan, menghubungkan satu hal dengan
yang lain dan dapat merespon dengan baik setiap stimulus. Perkembangan
intelektual tiap orang berbeda-beda disesuaikan dengan usia dan tingkah
perkembanganya. Menurut Piaget dalam Purwanto (1999) semakin bertambah umur
anak, semakin tampak jelas kecenderungan dalam kematangan proses.
Rath et al (1966) menyatakan bahwa salah satu faktor
yang dapat mempengaruhi perkembangan kemampuan berpikir kritis adalah interaksi
antara pengajar dan siswa. Siswa memerlukan suasana akademik yang memberikan
kebebasan dan rasa aman bagi siswa untuk mengekspresikan pendapat dan
keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran.
2.4 Perkembangan Berpikir Kritis (Critical Thinking)
Dalam
konteks pembelajaran, pengembangan kemampuan berpikir ditujukan untuk beberapa
hal (Soedijarto, 2004), diantaranya adalah (1) mendapat latihan berfikir secara
kritis dan kreatif untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah dengan
bijak, misalnya luwes, reflektif, ingin tahu, mampu mengambil resiko, tidak
putus asa, mau bekerjasama dan lain lain, (2) mengaplikasikan pengetahuan,
pengalaman dan kemahiran berfikir secara lebih praktik baik di dalam atau di
luar sekolah, (3) menghasilkan idea atau ciptaan yang kreatif dan inovatif, (4)
mengatasi cara-cara berfikir yang terburu-buru, kabur dan sempit, (5)
meningkatkan aspek kognitif dan afektif, dan seterusnya perkembangan intelek
mereka, dan (6) bersikap terbuka dalam menerima dan memberi pendapat, membuat
pertimbangan berdasarkan alasan dan bukti, serta berani memberi pandangan dan
kritik.
Pengembangan berpikir kritis terdapat beberapa tahapan, antara lain:
a.
Keterampilan
Menganalisis
Keterampilan
menganalisis merupakan suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur ke dalam
komponen-komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut . Dalam
keterampilan tersebut tujuan pokoknya adalah memahami sebuah konsep global
dengan cara menguraikan atau merinci globalitas tersebut ke dalam bagian-bagian
yang lebih kecil dan terperinci. Pertanyaan analisis, menghendaki agar pembaca
mengindentifikasi langkah-langkah logis yang digunakan dalam proses berpikir
hingga sampai pada sudut kesimpulan (Harjasujana, 1987: 44).
Kata-kata operasional
yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya: menguraikan,
membuat diagram, mengidentifikasi, menggambarkan, menghubungkan, memerinci,
dsb.
b.
Keterampilan Mensintesis
Keterampilan
mensintesis merupakan keterampilan yang berlawanan dengan keteramplian
menganallsis. Keterampilan mensintesis adalah keterampilan menggabungkan
bagian-bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan
sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang diperoleh dari
materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide-ide baru yang tidak dinyatakan
secara eksplisit di dalam bacaannya. Pertanyaan sintesis ini memberi kesempatan
untuk berpikir bebas terkontrol (Harjasujana, 1987: 44).
c.
Keterampilan Mengenal dan Memecahkan Masalah
Keterampilan
ini merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru.
Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehinga
setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan,
sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar
pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep-konsep ke dalam permasalahan atau
ruang lingkup baru (Walker, 2001:15).
d.
Keterampilan Menyimpulkan
Keterampilan
menyimpulkan ialah kegiatan akal pikiran manusia berdasarkan
pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai
pengertian/pengetahuan (kebenaran) yang baru yang lain (Salam, 1988: 68).
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa keterampilan ini menuntut
pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap
agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah simpulan. Proses pemikiran
manusia itu sendiri, dapat menempuh dua cara, yaitu : deduksi dan induksi.
Jadi, kesimpulan merupakan sebuah proses berpikir yang memberdayakan
pengetahuannya sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau
pengetahuan yang baru.
e.
Keterampilan Mengevaluasi atau Menilai
Keterampilan
ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan
berbagai kriteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar
memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar
tertentu (Harjasujana, 1987: 44).
Dalam taksonomi belajar, menurut Bloom, keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa ituntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep.
Dalam taksonomi belajar, menurut Bloom, keterampilan mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang paling tinggi. Pada tahap ini siswa ituntut agar ia mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya dalam menilai sebuah fakta atau konsep.
Pengukuran
indikator-indikator yang dikemukan oleh beberapa ahli di atas dapat dilakukan
dengan menggunakan universal intellectual standars. Pernyataan ini diperkuat
oleh pendapat Paul (2000: 1) dan Scriven (2000: 1) yang menyatakan, bahwa
pengukuran keterampilan berpikir kritis dapat dilakukan dengan menjawab
pertanyaan: “Sejauh manakah siswa mampu menerapkan standar intelektual dalam
kegiatan berpikirnya”.
Adapun mengembangkan berpikir
kritis dengan cara mengemabngkan strateginya. Beberapa ahli menyebutkan
strategi berpikir kritis diantaranya Kember (1997) menyatakan bahwa kurangnya
pemahaman pengajar tentang berpikir kritis menyebabkan adanya kecenderungan
untuk tidak mengajarkan atau melakukan penilaian keterampilan berpikir pada
siswa. Seringkali pengajaran berpikir kritis diartikan sebagai problem solving,
meskipun kemampuan memecahkan masalah merupakan sebagian dari kemampuan
berpikir kritis (Pithers RT, Soden R., 2000).
Faktor yang menentukan keberhasilan program pengajaran
keterampilan berpikir adalah pelatihan untuk para pengajar. Pelatihan saja
tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan keterampilan berpikir jika
penerapannya tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, tidak disertai
dukungan administrasi yang memadai, serta program yang dijalankan tidak sesuai
dengan populasi siswa (Cotton K., 1991).
Secara
umum pembelajaran IPS harus mengikuti aturan yang ada dalam Standar Isi, salah
satunya berpikir kritis. Namun, dalam materi sejarah strategi pembelajaran
berpikir kritis ini dapat dilakukan melalui sajian sejumlah fakta yang didapat
dari bacaan atau sumber lainnya. Anak didik dilatih menginterpretasikan untuk
membangun suatu struktur proses perubahaan peristiwa. Dalam hal ini secara
langsung telah dilatih anak didik memahami bahwa suatu peristiwa memiliki
proses perubahan. Ini salah satu ciri khas yang tidak diperoleh anak didik
melalui pembelajaran lainnya.
Setelah
terbentuk pola perubahan, anak dilatih berpikir kritis pada setiap perubahan.
Latihan pertama, adalah anak disuruh mencari fakta, membuat konsep dan
menemukan sebab-akibat dari setiap proses perubahan dalam peristiwa sejarah.
Latihan pertama, anak didik ditantang untuk membuktikan terjadi perubahan
melalui fakta (kejadian) masing-masing proses perubahan (how), kapan terjadinya
perubahan (when), dimana terjadinya (where) dan siapa pelakunya (Who). Latihan
kedua, peserta didik dilatih menginterpretasi untuk menentukan konsep setiap
fakta (kejadian) dengan memunculkan pertanyaan ‘apa namanya itu’ (What)?
Terakhir, peserta didik dilatih mencari penyebab dari masing-masing perubahan,
dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan, mengapa terjadi perubahan (Why)?
Demikian selanjutnya untuk perkembangan setiap perubahan dalam peristiwa
sejarah latihan berulang ini akan membentuk keterampilan berpikir kritis
seperti yang dimuat dalam kurikulum 2006. Salah satu contohnya yaitu, Kerajaan
Samudera Pasai mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1297 – 1326 M? apa
penyebabnya? Siapa rajanya? bagaimana pemerintahannya? mengapa ia mencapai
puncak kejayaan? kapan terjadinya?
Strategi tersebut membuktikan dua hal dalam pengajaran
yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, yaitu:
1)
Dengan menggunakan konteks yang
relevan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis sekaligus meningkatkan
prestasi akademisnya.
2)
Cara penilaian yang memerlukan telaah
yang lebih dalam, mendorong siswa untuk belajar secara lebih bermakna daripada
sekedar belajar untuk menghapal.
Pertanyaan
diberikan setelah memperoleh fakta-fakta dari setiap peristiwa sejarah yang
akan dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang diberikan telah
disusun oleh pendidik dengan konsep yang jelas sehingga tidak memberikan
pengalaman bagi siswa untuk menentukan informasi yang diperlukan untuk
membangun konsep sendiri. Salah satu karakter seorang yang berpikir kritis
adalah self regulatory, sehingga
pengajaran tersebut dapat dikombinasikan dengan strategi lain agar siswa dapat
menentukan informasi secara mandiri. Sehingga setiap siswa memperoleh
kesempatan untuk menyampaikan argumentasi dari jawaban pertanyaan yang
diberikan. Penulis beranggapan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong
siswa untuk berpikir kritis dapat dimasukkan ke dalam study guide
sebagai salah satu sumber belajar.
Pembelajaran
kolaboratif melalui diskusi kelompok kecil juga direkomendasikan sebagai
strategi yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Resnick L., 1990;
Rimiene V., 2002; Gokhale A.A., 2005). Dengan berdiskusi siswa mendapat
kesempatan untuk mengklarifikasi pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa
lain, mengobservasi strategi berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan,
membantu siswa lain yang kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan
motivasi, serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima kritik dan
menyampaikan kritik dengan cara yang santun.
BAB 3. SIMPULAN
Berpikir kritis adalah suatu aktifitas kognitif yang berkaitab dengan
penggunaan nalar. Belajar untuk berpikir kritis berarti menggunakan
proses-proses mental, seperti memperhatikan, mengkategorikan, seleksi, dan
menilai/memutuskan. Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan bekerja, dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu
dengan yang lainnya dengan lebih akurat. Oleh sebab itu kemampuan berpikir
kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah / pencarian solusi, dan
pengelolaan proyek.
penggunaan nalar. Belajar untuk berpikir kritis berarti menggunakan
proses-proses mental, seperti memperhatikan, mengkategorikan, seleksi, dan
menilai/memutuskan. Kemampuan dalam berpikir kritis memberikan arahan yang tepat dalam berpikir dan bekerja, dan membantu dalam menentukan keterkaitan sesuatu
dengan yang lainnya dengan lebih akurat. Oleh sebab itu kemampuan berpikir
kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah / pencarian solusi, dan
pengelolaan proyek.
Pengembangan kemampuan berpikir kritis merupakan integrasi beberapa
bagian pengembangan kemampuan, seperti pengamatan (observasi), analisis,
penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Semakin baik
pengembangan kemampuan-kemampuan ini, maka kita akan semakin dapat
mengatasi masalah-masalah/proyek komplek dan dengan hasil yang memuaskan
penalaran, penilaian, pengambilan keputusan, dan persuasi. Semakin baik
pengembangan kemampuan-kemampuan ini, maka kita akan semakin dapat
mengatasi masalah-masalah/proyek komplek dan dengan hasil yang memuaskan
Strategi pengajaran yang mendorong
siswa berpikir kritis terhadap pokok bahasan materi pelajaran sejarah dapat
menggunakan berbagai strategi pengajaran yang menggunakan pendekatan di bawah
ini:
- Pembelajaran Aktif
- Pembelajaran Kolaboratif
- Pembelajaran Kontekstual
- Menggunakan pendekatan higher order thinking
- Self directed learning
Kombinasi
dari berbagai strategi di lebih dianjurkan oleh karena dapat mencapai berbagai
aspek dari komponen berpikir kritis. Teknologi pengajaran yang menerapkan
kombinasi dari berbagai strategi yang ada saat ini misalnya Problem Based
Learning (PBL). Para pendidik perlu mengembangkan strategi pengajaran tersebut
dalam pengajaran agar siswa dapat belajar materi pembelajaran sejarah melalui
proses berpikir kritis. Dengan demikian siswa dapat memberi makna yang lebih
dalam (bukan sekedar mendapat materi yang dalam) dari materi yang dipelajari.
Berpikir
kritis dalam proses pembelajaran sejarah ini dapat terlaksana jika seluruh
fakta-fakta mengenai peristiwa sejarah tersebut dapat ditemukan, dengan cara
guru dan siswa memiliki sumber dan bahan materi yang lengkap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar