PERKEMBANGAN AMERIKA
LATIN
SETELAH PERANG DUNIA
II
Disusun
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Amerika
Dosen
Pengampu Dr. Suranto, M.Pd
Tugas Individu
Oleh:
RUSYDAH
BINTA QUR-ANIYAH
120210302032
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur Penulis Panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena berkat limpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah “Perkembangan Amerika Latin Setelah Perang
Dunia II” yang merupakan salah
satu dari komponen nilai tugas individu mata kuliah Sejarah Amerika dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara pada
Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
jember.
Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1.
Dr. Suranto, M.Pd.,
selaku Dosen pengampu mata kuliah Sejarah Amerika yang telah membimbing;
2.
Teman-teman yang telah
memberi dorongan dan semangat;
3.
Semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk penyusunan
maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhirnya penulis
berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Jember, 17 Mei 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman Judul............................................................................................... ....................... 1
Kata Pengantar.............................................................................................. ....................... 2
Daftar Isi........................................................................................................ ....................... 3
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................... ....................... 4
1.1
Latar Belakang............................................................................. ....................... 4
1.2
Rumusan Masalah........................................................................ ....................... 4
1.3
Tujuan.................................................................................................................. 4
BAB 2. PEMBAHASAN..................................................................................................... 5
2.1
Latar Belakang Amerika Latin............................................................................ 5
2.2
Kondisi Amerika Latin Setelah Perang Dunia II................................................. 5
2.3
Konflik-Konflik yang Terjadi di Amerika Latin................................................. 10
2.3.1 Konflik Etnis Di Amerika Selatan.............................................................. 10
2.3.2 Konflik Ideology Politik Di Amerika Selatan............................................ 11
2.3.3 Konflik Ekonomi Perdagangan Di Amerika Selatan.................................. 14
2.3.4 Konflik Keamanan Di Amerika Selatan..................................................... 15
2.3.5 Konflik Hubungan Luar Negeri Di Amerika Selatan................................. 15
BAB 3. SIMPULAN............................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 19
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Amerika Latin adalah
wilayah yang banyak didatangi oleh para penjajah karena memiliki banyak sumber
daya alam, oleh karena itu sejarah perpolitikannya banyak diwarnai oleh
negara-negara di luarnya. Pada abad ke-16 Spanyol dan Portugis menguasai
wilayah Amerika Latin dengan kekerasan dan penaklukan yang sejalan dengan
politik merkantilis pada masa itu (Hennida, 2012:47). Pada abad 17 hingga 18
wilayah di Amerika Latin menjadi perebutan penjajah Eropa, hingga mengakibatkan
Amerika Latin bergantung pada ekonomi kapitalis global pasca kemerdekaan.
Selain Eropa, Amerika Serikat juga cukup berpengaruh dalam situasi di Amerika
Latin, salah satunya lewat Doktrin Monroe 1823 yang menyatakan bahwa wilayah
benua Amerika yang merdeka telah bebas dan tidak lagi dianggap sebagai subjek
kolonialisasi Eropa, sehingga AS akan turun tangan apabila negara-negara Eropa
masih berusaha menjajah dan menaklukan wilayah di benua Amerika yang telah
merdeka (Hennida, 2012:50).
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
latar brelakang Amerika Latin?
2.
Bagaimana
kondisi Amerika Latin Setelah Perang Dunia II?
3.
Konflik-konflik
apa saja yang terjadi di Amerika Latin?
1.3
Tujuan
1.
Mengetahui
latar brelakang Amerika Latin
2.
Memahami
kondisi Amerika Latin Setelah Perang Dunia II
3.
Mengerti
Konflik-konflik apa saja yang terjadi di Amerika Latin
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Sejarah
Amerika Latin
Amerika Selatan disebut Amerika Latin karena mereka berbicara
dengan bahasa Latin, namun sebagian besar orang yang tinggal di Amerika Selatan
sebagian besar berbicara menggunakan Bahasa Spanyol, Bahasa Portugis, dan
Prancis. Alasannnya tidak lain adalah karena akar bahasa dari ketiga bahasa
tersebut adalah bahasa Latin. Bahasa Latin adalah bahasa yang dulunya
dituturkan oleh penduduk romawi kuno. Kemudian bahasa ini berkembang dan
seiring berjalannya waktu, bahasa ini menjelma menjadi bahasa Spanyol, Portugis,
Prancis, Italia, Romania, dan Moldova. Namun demikian, bahasa Latin tetap
menjadi bahasa resmi di Vatikan.
Amerika Selatan adalah kawasan yang terletak di Benua Amerika
sebelah selatan dan tersambung dengan Amerika Utara melalui Tanah Genting
Panama. Amerika Selatan terdiri dari beberapa negara, diantaranya:, Argentina,
Bolivia, Brasil, Chili, Kolombia, Ekuador, Kepulauan Falkland, Guyana Perancis,
Guyana, Paraguay, Peru, Georgia Selatan, Suriname, Uruguay, dan Venezuela.
2.2
Kondisi
Amerika Latin Setelah Perang Dunia II
Amerika Latin
merupakan negara berkembang setelah Perang Dunia II. Negara ini melakukan
kerjasama dengan berbagai organisasi khususnya OPEC. Dengan melakukan kerjasama
OPEC, negara ini juga menjalin hubungan dengan negara maju.
Proses Lahirnya Kerja
Sama Utara dan Selatan
Proses kelahiran kerja sama Utara-Selatan diawali dari pertemuan
negara-negara penghasil minyak dengan negara-negara konsumen minyak pada
tanggal 7 April 1975 di Paris, Prancis. Pertemuan tingkat menteri ini kemudian
dipopulerkan secara resmi dengan istilah Konferensi Kerja Sama Ekonomi
Internasional yang pertama kali diadakan pada 16-18 Desember 1975 di Paris.
Forum ini kemudian lebih dikelan dengan istilah dialog Utara-Selatan. Di dalam
forum ini termasuk di dalamnya pertemuan-pertemuan nonformal, nonpemerintah,
dan non-PBB.
Amerika Serikat dan Prancis sebagai pemrakarsa forum dialog Utara-Selatan
memandang perlu diadakan kerja sama antar negara-negara pengguna minyak dengan
negara-negara penghasil minyak. Hal ini guna menanggulangi terjadinya krisis
energi (minyak), krisis ekonomi, dan embargo minyak. Itikad disambut baik oleh
negara-negara penghasil minyak, sehingga mengahsilkan konferensi kerja sama
ekonomi internasional pada bulan Desember 1975 di Paris. Negara-negara industri
memandang bahwa kelangsungan ekonomi dan kehidupan industri sangat bergantung
pada sektor energi.
Pada awalnya, kerja sama Utara-Selatan hanya beranggotakan negara-negara yang hadir pada Konferensi Kerja Sama Ekonomi Internasional di Paris, yaitu 27 negara. Di dalam perkembangannya, forum ini meluas dan berkembang menjadi forum kerja sama antara negara-negara industri dengan negara-negara yang sedang berkembang.
Pada awalnya, kerja sama Utara-Selatan hanya beranggotakan negara-negara yang hadir pada Konferensi Kerja Sama Ekonomi Internasional di Paris, yaitu 27 negara. Di dalam perkembangannya, forum ini meluas dan berkembang menjadi forum kerja sama antara negara-negara industri dengan negara-negara yang sedang berkembang.
Pada Konferensi Kerja Sama Ekonomi Internasional pertengahan Desember 1975
di Paris telah dihadiri oleh negara-negara yang tergabung dalam Masyarakat
Ekonomi Eropa (MEE), Jepang, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Spanyol,
Swedia, dan Swiss sebagai wakil pihak Utara. Sedangkan pihak Selatan dihadiri
Aljazair, Argentian, Brasilia, Kamerun, Mesir, India, Indonesia (wakil dari
ASEAN), Iran, Irak, Jamaica, Mexico, Nigeria, Pakistan, Peru, Arab Saudi,
Venezuela, Yugoslavia, Zaire, dan Zambia.
Melihat keberhasilan pada sidang pertama pada bulan Desember 1975 di Paris,
maka kemudian direncanakan persidangan kedua di Paris bulan Desember 1976.
Namun, karena adanya beberapa halangan seperti perilu di Amreika Serikat,
Jerman Barat, dan Jepang, maka sidang kedua ini ditunda pada Juni 1977.
Diantara kedua sidang tersebut, telah dilaksanakan persidangan tingkat pejabar
tinggi dan sidang kelompok anggota (April-November 1976). Persidangan ini
bermaksud untuk membantu pemecahan persoalan yang akan diputuskan pada sidang
tingkat menteri pada Mei/Juni 1977.
Dari dua kali Konferensi Kerja Sama Ekonomi Internasional dan ditambah
hasil persidangan perantara, maka forum dialog Utara-Selatan telah mengalami
perkembangan. Kerja sama ini tidak hanya dalam hal perdagangan minyak di
pasaran internasional, tetapi juga meluas ke bidang energi, bahan mentah,
pembangunan, dan keuangan, dan sektor lainnya yang mendukung perekonomian
global.
Tujuan Kerja Sama Utara
dan Selatan
Secara umum tujuan forum Utara-Selatan adalah sebagai berikut:
a. Mengharmoniskan hubungan antara negara-negara industri dengan negara-negara
yang sedang berkembang. Tata perekonomian internasional telah menuntut suatu
orde baru yang memerlukan adanya dialog dan kerja sama antara pihak Utara
dengan pihak Selatan.
b. Mengikutsertakan partisipasi negara-negara berkembang dalam tatanan dan
hubungan ekonomi internasional. Untuk merealisasikan tujuan ini, negara
berkembang aktid dalam pengambilan keputusan di forum PBB dan di forum-forum di
luar PBB.
c. Untuk membagi keuntungan secara adil dari hasil perdagangan internasional.
Melihat dari tujuannya, maka kerja sama Utara-Selatan dapat diartikan
sebagai forum komunikasi timbal balik yang saling menguntungkan. Dari forum
komuniksi ini telah melahirkan adanya sikap untuk saling mendidik, saling
meyakinkan, dan saling mengubah tata susunan dunia. Dalam kerja sama ini telah
terjalin hubungan antarpemerintah dan hubungan antarpihak swasta.
Hubungan Antara Utara
dan Selatan
Istilah Utara dan Selatan sebenarnya lebih bermakna ekonomis daripada
geografis. Utara diidentifikasikan sebagai keompok negara-negara maju, sedangkan
Selatan cenderung dialamatkan kepada negara-negara berkembangatau negara Dunia
Ketiga. Negara-negara Utara mencakup negara-negara maju yang terletak di Eropa
Barat, Amerika, dan Kanada. Negara-negara Selatan mencakup negara-negara yang
terletak di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Secara ekonomis, negara-negara maju memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan
negara-negara berkembang relatif memiliki ekonomi yang lemah. Dari segi
kekayaan alam, negara-negara maju tidak memiliki sumber alam yang cukup. Meskipun
demikian, kekurangan tersebut dapat diatasi dengan penguasaan teknologi.
Perbedaan kondisi sosial, ekonomi, budaya antara pihak Utara-Selatan menggiring
mereka kepada keadaan saling ketergantungan (interdepedensi). Di satu sisi,
negara-negara Utara memiliki keunggulan dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, namun kurang didukung oleh sumber kekayaan alam yang melimpah.
Sebaliknya, negara-negara Selatan memiliki sumber alam yang relatif melimpah,
namun tanpa didukung oleh penguasaan teknologi. Dengan kondisi ini, kedua pihak
menganggap penting adanya kerja sama Utara-Selatan.
Pokok persoalan dalam kerjasama Utara-Selatan adalah upaya perubahan dalam
tata hubungan dunia baru yang lebih adil. Hubungan tersebut harus berubah dari
bentuk pemerasan oleh Utara ke bentuk pembagian keuntungan bersama. Dengan kata
lain, hubungan tersebut harus berubah dari bentuk subordinasi ke bentuk
kemitraan. Namun pada kenyataannya, bentuk hubungan Utara-Selatan masih
cenderung berpola dominasi-subordinasi. Bentuk kerjasama itu hanya menciptakan
kemakmuran bai negara-negara Utara. Negara-negara Selatan masih mengalami
berbagai kekurangan. Misalnya, penurunan nilai tukar bagi barang-barang yang
dihasilkannya, perusakan lingkungan, dan ketergantungan yang semakin tinggi terhadap
negara-negara Utara.
Negara-negara Utara cenderung memaksakan model pembangunan mereka terhadap
negara-negara Selatan. Pemaksaan itu mereka lakukan melalui
perundingan-perundingan dalam lembaga keuangan internasional. Bank dunia dan
IMF (International Monetary Fund), yang semula direncanakan sebagai lembaga
keuangan untuk menolong semua negara di dunia dalam pembangunan, ternyata
dipakai sebagai alat oleh negara-negara Utara untuk memaksakan model
pembangunan yang menguntungkan negara-negra yang lebih kuat. Bank dunia dan IMF
mengeluarkan Program Penyesuaian Struktural atau SAP (Structural Adjustment
Program) yang intinya memaksa negara-negara yang mendapatkan bantuan utang
untuk lebih membuka pasar dalam negeri mereka, menekankan kegiatan ekonomi yang
menghasilkan barang-barang yang bisa diekspor, dan mengurangi subsidi
pemerintah terhadap sektor publik. Di Afrika dan Amerika Latin, program ini
menciptakan kemiskinan di kalangan rakyat jelata.
Sehubungan dengan berbagai keadaan yang dialami oleh negara-negara Selatan
itu, diadakan pembenahan di kalangan negara-negara Selatan sendiri.
Negara-negara Selatan meningkatkan kekuatan politik dan ekonomi mereka. Selatan
membangun berbagai jalinan dan membangun kekuatan kolektifnya melalui kegiatan
positif di dalam dirinya dan tidak membuat posisi berhadap-hadapan dengan
negara-negara Utara. Di pihak lain, Utara harus membiarkan negara-negara
Selatan bebas melaksanakan berbagai strategi pembangunan alternatif mereka,
tanpa melakukan diskriminasi atau sabotase terhadap negara-negara tersebut.
Negara-negara di Utara harus melaksanakan kebijakan ekonomi dan kebijakan luar
negeri yang didasarkan atas kepentingan jangka panjang yang sehat yang akan
menjaga kelestarian umat manusia dan bumi. Dalam jangka panjang, pendekatan
semacam itu akan sejalan dengan kepentingan penduduk Utara itu sendiri.
Negara-negara Selatan dengan kecenderungan untuk memperoleh posisi
tawar-menawar yang seimbang dengan negara-negara Utara, terkonsentrasi dalam
organisasi seperti Kelompok 77 dan Gerakan Non-Blok (GNB). Dalam wadah-wadah
itulah, negara-negara Selatan menyalurkan aspirasi mereka. Dalam KTT GNB XI di
Jakarta tahun 1992, salah satu keputusan penting yang diambil adalah perlunya
suatu Nort-South Dialogue (dialog Utara-Selatan). Dialog ini difokuskan pada
masalah-masalah perdaganagn barang komoditas internasional. Negara-negara
Selatan menginginkan komposisi harga yang adil dari penjualan komoditas
tersebut dalam kerangka New Partnership For Development (kemitraan bagi
perkembangan). Dalam dialog Utara-Selatan juga dibicarakan masalah bantuan
keuangan bagi negara-negara berkembang dan pengurangan beban utang luar negeri.
Bidang pertanian dan industri uga menjadi pokok masalah yang diupayakan untuk
dibicarakan.
Posisi GNB dalam kerangka kerja sama Utara-Selatan menjadi semakin memiliki
arti sejak berakhirnya Perang Dingin. Sebagai suatu gerakan politik. GNB
menjadi semakin penting eksistensinya dalam memperjuangkan apa yang disebut
dengan . ”tata ekonomi dunia yang lebih adil”. Fokus gerakannya adalah mengajak
negara-negara maju untuk memberikan perhatian yag lebih luas dan bersikap lebih
adil erhadap proses pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang.
Dalam menghadapi Kelompok Utara yang menguasai perekonomian dunia, Kelompok
Selatan membentuk persekutuan yang lebih dikenal sebagai kelompok 77 dengan
anggotanya mula-mula 77 negara (1964) dan pada tahun 1990 sudah lebih dari
seratus Negara. Kelompok 77 dengan gigih berjuang mendesak Kelompok Utara agar
tata perekonomian lama yang hanya menguntungkan Kelompok Utara dirombak
sehingga terjadi pemerataan dan keadilan dalam kemakmuran. Perjuangan Kelompok
Selatan melawan kemiskinan mendapat dukungan dari organisasi seperti OPEC.
Sementara itu Kelompok Utara, yang sebelumnya saling bersaing sendiri, akhirnya
bersatu dalam KTT di London,Venesia, dan Tokyo untuk menyamakan langkah dalam
menghadapi Kelompok Selatan.
2.3
Konflik-Konflik
di Amerika Latin
Wilayah kawasan Amerika Selatan dapat diidentifikasi berdasarkan
klasifikasi konflik atau permasalahan tertentu berdasarkan beberapa dasar,
yakni konflik etnis, ideology politik, ekonomi perdagangan, keamanan, dan
hubungan luar negeri.
2.3.1.
Konflik
Etnis di Amerika Selatan
Secara psikologi, etnis memiliki definisi yaitu kelompok masyarakat
yang terikat oleh kesamaan tertentu dan berbeda dengan kelompok yang lain.
Mereka diikat oleh budaya yang mereka pertahankan dan perjuangkan secara
bersama-sama. Untuk kawasan Amerika Selatan sendiri, sedikit berbeda dengan
negara kita Indonesia. Di Indonesia, meski hanya sebuah negara, tapi terdiri
dari berbagai etnis berbeda. Hal ini disebabkan karena kita diikat oleh
budaya-budaya dan suku yang berbeda tergantung dari wilayah kita. Sedangkan di
Amerika Latin, mereka sebagian besar hanya terkelompok dalam suku Indian.
Sehingga etnisitas di Amerika Latin memiliki sifat yang cukup homogeny. Adapun
kelompok-kelompok masyarakat yang terbentuk lebih banyak karena latar belakang
pergerakan dan kepentingan yang sama.
Secara gamblang, jika kita mengutip James Petras, seorang akademisi
dan aktivis yang banyak membantu masyarakat tanpa tanah di Brazil, ada tiga
gelombang gerakan sosial yang saling tumpang tindih dan berkaitan dalam 25
tahun belakangan ini. Gelombang yang pertama, secara gampangnya, muncul pada
akhir 1970an hingga pertengahan 1980an. Pada umumnya, gerakan ini yang kemudian
dikenal sebagai “gerakan sosial baru” (the new social movements), terdiri dari
aliansi kekuatan sosial seperti kalangan aktivis hak asasi manusia, lingkungan,
feminis, etnis dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs). Gelombang kedua,
yang berkembang menjadi kekuatan politik yang signifikan, berawal dari
pertengahan 1980an hingga saat ini. Sebagian besar gerakan ini dipimpin dan
terdiri dari petani dan buruh tani, di mana organisasi massanya terlibat dalam
aksi-aksi langsung, dalam upayanya mempromosikan dan melindungi
kepentingan-kepentingan ekonomi dari pendukungnya. Yang paling menonjol dari
gerakan ini gerakan Zapatista (Ejércite Zapatista de Liberación Nacional – ZLN)
di Meksiko, Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores
Rurais Sem Terra – MST), gerakan petani koka masyarakat Indian (Cocaleros) di
Bolivia, Federasi Petani Nasional (National Peasant Federation) di Paraguay,
Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (Revolutionary Armed Forces of
Colombia – FARC) di Kolombia, dan gerakan petani Indian yang tergabung dalam
Konfederasi Kebangsaan Masyarakat Adat Ekuador (CONAIE) di Ekuador.
Gerakan ketiga, yang merupakan gelombang gerakan sosial yang lebih
baru, berpusat wilayah-wilayah urban. Di sini, termasuk gerakan massa pekerja
pengangguran berbasis barrio (komunitas) di Argentina, kalangan pegangguran dan
kaum miskin di Republik Dominika, dan penduduk yang bermukim di rumah-rumah
gubuk yang menaruh harapannya di belakang bendera populis yang diusung oleh
Hugo Chavez, presiden Venezulea. Lain daripada itu, ada gerakan urban yang
tampilannya adalah new multi-sectorial movements (gerakan multisektoral baru)
yang melibatkan perjuangan massa yang mengintegrasikan buruh tani dan petani
bertanah menengah dan kecil yang berkembang di Kolombia, Meksiko, Brazil, and
Paraguay.
Jika kita perhatikan mengenai komposisi, taktik, dan tuntutan yang
diperjuangkan gerakan sosial ini memang bervariasi dan bisa juga berjalan
sendiri-sendiri. Meskipun demikian, kelihatannya ada “kepentingan bersama” yang
menyebabkan mereka bersatu sebagai oposisi terhadap neoliberalisme dan
imperialisme. Tepatnya, mereka melawan ketidakadilan dan penindasan sebagai
akibat dari kebijakan ekonomi rejim neoliberal dan berkembangnya konsentrasi
kekayaan ditangan para elit lokal dan asing. Secara lebih khusus lagi, yang
mereka perjuangkan adalah pembagian tanah dan otonomi nasional bagi komunitas
Indian.
2.3.2.
Konflik
Ideologi Politik di Amerika Selatan
Konflik Ideologi Politik di Amerika Selatan seringkali dihiasi
interaksi antara pihak golongan ‘kanan’ dan ‘kiri’. Amerika Selatan adalah
kawasan yang sangat kental dan terkenal dengan gerakan-gerakan sosialisnya yang
anti terhadap ideology politik neoliberal. Ada beberapa negara yang memiliki
ideology politik yang cukup kental dan kerapkali bisa menjadi potensi munculnya
konflik politik di wilayah negara tersebut. Bolivia, misalnya. Revolusi pada
tahun 1952 yang dipimpin oleh Gerakan Nasionalis Revolusioner (MNR) berhasil
menggulingkan rezim militer kanan dan menasionalisasi tambang timah terbesar di
negeri itu, selain itu reformasi tanah (land reform) pun mulai digalakkan, dan
memberikan hak pilih pada perempuan dan kaum Indian yang sebelumnya tidak
memiliki hak pilih. Nasionalisasi di berbagai sektor di Bolivia sangat jelas
mewakili ideology politik yang dianut negara tersebut.
Kebijakan politis Bolivia ini jelas menimbulkan keresahan yang
cukup meluas di pihak investor dan perusahaan-perusahaan asing. Namun, Bolivia
sesungguhnya tidak bisa mengesampingkan kebutuhan mereka akan investor asing.
Meski berani dalam setiap pengambilan kebijakan politisnya, dalam hal ini
nasionalisasi sektor-sektor penting, Bolivia sesungguhnya belum memiliki
capital yang cukup untuk mengolah sektor pertambangan, jika saja
korporasi-korporasi swasta sudah merasa sangat dirugikan dalam setiap kebijakan
nasionalisasi Bolivia dan penarikan pajak negara yang cukup tinggi di Bolivia.
Selain Bolivia, Venezuela pun adalah negara yang mencatat pergerakan
politik cukup jelas dan justru member pengaruh bagi negara-negara lain di
Amerika Selatan. Pada 1998, pemilihan Hugo Chavez sebagai Presiden Venezuela
memberi pengaruh besar akan terjadinya perubahan di daratan Amerika Selatan.
Dan ini bukan hanya menyebarnya pencarian model perekonomian alternatif dan
arah politk yang cocok diterapkan di suatu negara. Satu demi satu, dari Brasil
hingga Argentina, mulai Bolivia sampai Chile, partai-partai dari kelompok kiri
menguasai kantor kepresidenan melalui pemilu-pemilu demokratis. Dengan perlahan
atau lantang, negara-negara tersebut mulai berani bersuara miring terhadap,
bahkan sampai menyingkirkan, model perekonomian neolib yang didesakkan
Konsensus Washington beserta paket institusi kebijakan sosial dan perekonomiannya.
Sadar bila model neolib hanya menciptakan marjinalisasi
sosio-ekonomi dari mayoritas rakyat, pemerintahan-pemerintahan generasi baru
(sejak Chavez) mulai memadukan kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas
fiskal dan makro, dengan kebijakan-kebijakan sosial yang difokuskan pada
isu-isu kemiskinan, pengangguran, dan kesehatan. Hasilnya, kita mendengar
adanya harmoni—sebuah orkestrasi yang dimainkan oleh nyaris seluruh
kawasan—tentang stabilitas dan keteraturan (juga kewibawaan) politik, kesetaraan
sosial dan ekonomi, serta kebangkitan umat manusia. Pemaparan yang saya
gambarkan diatas lebih ke bagaimana ideology negara-negara di Amerika Selatan
yang sangat kental menjunjung tinggi kepentingan rakyat kecil, dalam hal ini
petani dan kaum buruh. Karena kebijakan yang menjunjung tinggi kaum kecil
itulah, sehingga kemudian dapat menimbulkan konflik dengan pihak-pihak investor
dan korporasi asing.
Selain itu, ada juga konflik politk antar penguasa dalam
memperebutkan kursi kekuasaan tertinggi dalam sebuah negara. Mulai tahun 1954
Jenderal Stroessner berkuasa selama 35 tahun di Paraguay, setelah di negara itu
selama bertahun-tahun terjadi ketidakstabilan politik akibat sering bergantinya
pemerintahan. Kekuasaan rezim otoriternya dibangun di atas 3 pilar yaitu:
Partai Colorado, aparat negara, dan militer (yang sejak akhir Perang Chaco
melawan Bolivia pada tahun 1935 menjadi aktor politik yang jelas-jelas sangat
berperan).
Sementara Jendral Stroessner sukses menciptakan stabilitas represif sistem politik di Paraguay, perkembangan politik di Argentina berlangsung secara berubah-ubah. Sejak tahun 1930, pemerintahan-pemerintahan militer yang dibentuk melalui kudeta dan presiden-presiden yang terpilih secara demokratis di Argentina berusaha saling menggeser kedudukan. Tidak ada kekuasaan demokratis yang sungguh-sungguh berusia lama. Tak satupun presiden terpilih dapat menyelesaikan masa bakti mereka secara reguler, apalagi sampai bisa menyerahkan jabatan itu kepada penggantinya yang resmi terpilih. Kudeta tahun 1976 merupakan goncangan keenam yang berhasil terhadap negara, sejak tahun 1930. Pihak militer Argentina saat itu merupakan penguasa politik nasional dalam jangka waktu lama.
Sementara Jendral Stroessner sukses menciptakan stabilitas represif sistem politik di Paraguay, perkembangan politik di Argentina berlangsung secara berubah-ubah. Sejak tahun 1930, pemerintahan-pemerintahan militer yang dibentuk melalui kudeta dan presiden-presiden yang terpilih secara demokratis di Argentina berusaha saling menggeser kedudukan. Tidak ada kekuasaan demokratis yang sungguh-sungguh berusia lama. Tak satupun presiden terpilih dapat menyelesaikan masa bakti mereka secara reguler, apalagi sampai bisa menyerahkan jabatan itu kepada penggantinya yang resmi terpilih. Kudeta tahun 1976 merupakan goncangan keenam yang berhasil terhadap negara, sejak tahun 1930. Pihak militer Argentina saat itu merupakan penguasa politik nasional dalam jangka waktu lama.
Konstelasi sejarah di Chilli dan Uruguay sangatlah berbeda dengan
kedua negara di atas. Dalam kurun waktu 143 tahun sebelum kudeta pada September
1973 (di mana pemerintahan sosialis Allende yang dipilih secara demokratis
digulingkan), Chilli mengalami 4 bulan saja di bawah pemerintahan junta
militer. Fenomena ini tentu saja tidak dapat disejajarkan dengan hilangnya
peran militer sebagai aktor politik. Terutama pada pertengahan tahun 20-an
sampai awal tahun 30-an, mereka membuat pengaruh yang tidak sepele pada politik
nasional. Berbeda dengan itu, militer di Uruguay pada abad 20 hingga akhir tahun
60-an tidak tampil sebagai tokoh politik yang relevan. Bahkan pada awal 30-an,
ketika terjadi masa singkat kediktatoran, mereka juga tidak memainkan peranan
penting.
2.3.3.
Konflik
Ekonomi
Seperti halnya negara-negara berkembang lainnya, kawasan Amerika Selatan
pun memiliki kekayaan yang cukup potensial untuk Sumber Daya Alam. Sektor
pertanian adalah sektor yang sangat dibanggakan dan dipupuk dalam budaya
masyarakat Amerika Selatan. Bahkan pergerakan petani pun sampai terbentuk untuk
menjaga pergerakan dan lahan mereka dari pihak kapitalis yang ibaratnya
bertujuan untuk mematikan sektor perdagangan tradisional. Selain itu, Amerika
Selatan juga memiliki potensi yang cukup besar dalam komoditi minyak.
Tahun 1980an merepresentasikan titik balik yang menentukan di
Amerika Latin. Krisis hutang yang merenggut Dunia Ketiga memfasilitasi
neoliberalisasi di negara-negara di Amerika Latin melalui kebijakan
restrukturisasi IMF. Dengan disusul kejatuhan Uni Soviet, saat itu tampak tak
ada alternatif yang mungkin terhadap arus pasang politik kanan. Juga dalam era
ini, industri timah di Bolivia runtuh karena persediaan global yang terlalu
banyak (oversupply), yang terutama dipasok oleh Cina dan Brasil. Dalam konteks
tersebut, industri lalu-lintas narkotika (narcotrafficking) mulai marak. Hal
itu pada prinsipnya dibahan-bakari oleh konsumsi di utara dan didorong oleh
naluri bisnis (sense of entrepreneurialism) yang tak ada duanya di Kolombia,
pusat (epicentre) dari perdagangan obat-obatan terlarang. Perbatasan internasional
yang semakin berpori-pori berkat globalisasi, dan konteks lokal berupa bencana
hutang dan ekonomi, menciptakan atmosfir mengundang bagi kekayaan yang
diasosiasikan dengan maraknya industri lalu-lintas narkotika.
Selain sektor minyak dan narkotika, Amerika Selatan atau Amerika
Latin sangat dekat dengan isu privatisasi. Seperti yang telah saya jelaskan
sebelumnya, ini dikarenakan ketika krisis global pada tahun 1990-an,
negara-negara di Amerika Selatan seperti tidak diberi pilihan lain selain menerima
bantuan IMF dan WTO untuk tetap bertahan dalam perekonomian. Pada 1999-2000
ketika diterapkan rencana privatisasi air di Lembah Cochabamba melalui anak
perusahaan Bechtel Corporation, Aguas de Tunari. Dalam waktu beberapa bulan
harga air meningkat drastis dan memicu aksi-aksi protes yang semakin agresif,
termasuk suatu demonstrasi massal di mana seorang protestan terbunuh dan
beberapa lainnya terluka oleh militer. ‘Perang Air’ ini, sebagaimana biasa
disebut, berujung pada pembatalan kesepakatan privatisasi air. Ia juga
memperkuat gerakan anti-neoliberal yang berlanjut meningkat dalam jumlah dan
intensitas.
2.3.4.
Konflik
Keamanan
Rezim-rezim militer yang didirikan di Argentina, Chili, dan Uruguay
pada tahun 70-an adalah tergolong dalam tipe otoriterisme birokratis. Mereka
beroperasi dengan sebuah basis ideologi yang mirip yang disebut Doktrin
Keamanan Nasional. Dengan doktrin itu mereka bersikap sebagai penyelamat bangsa
dengan tuntutan untuk melindungi nilai-nilai eropa-kristen dan ingin
menghadirkan kembali kedamaian dan ketertiban. Tentu saja para pimpinan aparat
kekuasaan di tiga negara ini memiliki struktur berbeda. Jika Chilli, segera
setelah runtuhnya Allende, sangat kuat berkiblat pada Jendral Pinochet dan
dapat menciptakan kediktatoran yang berlangsung selama 17 tahun (1973-1990),
pihak junta militer Argentina yang terdiri dari pimpinan tiga divisi angkatan
bersenjata membagi-bagi kekuasaan sejak 1976 sampai 1983. Junta militer ini,
bersama-sama dengan boneka-boneka yang berbeda-beda, hampir tidak menciptakan
kesan sebuah blok kekuasaan yang tertutup. Sebaliknya para penguasa militer
Uruguay memanfaatkan sebagian besar waktu berkuasa mereka (dari 1973 sampai
1985) untuk melakukan agitasi berkedok orang-orang sipil, sehingga sampai tahun
1981 mereka tidak pernah menempatkan anggota militer sebagai pimpinan-pimpinan
puncak pemerintahan.
Berbeda dari 3 negara lain yang dibahas di sini, di Paraguay
terdapat sebuah kediktatoran tradisional yang patrimonial dan berciri khas
Amerika Tengah, khususnya ciri Karibia. Rejim Stroessner mengikat elemen-elemen
pemerintahan militer dengan beberapa ciri khas kediktatoran yang berkiblat pada
perseorangan pada gaya lama Caudillo, yang memperoleh dukungan ekstra melalui
sebuah partai negara.
2.3.5.
Konflik
Eksternal (Hubungan Luar Negeri)
Untuk masalah-masalah hubungan luar negeri sendiri, negara-negara
di Amerika Selatan seringkali berkonflik dengan negara-negara liberal kapitalis
yang seringkali disebabkan oleh perbedaan ideology diantara mereka.
Negara-negara di Amerika Selatan, terkhusus negara-negara yang berideologi kiri
keras seringkali menganggap negara-negara Barat tengah mengatur rencana
eksploitatif untuk menundukkan kawasan Amerika Selatan. Negara Barat yang
dimaksud di sini adalah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Misalnya saja Presiden Bolivia Evo Morales sangat marah dan murka
atas tindakan dan sabotase CIA yang melakukan konspirasi menentang kebijakan
energi negaranya. Hal tersebut menjadi pemicu berupa tindakan Presiden Bolivia
Evo Morales secara tegas mengusir seorang pejabat kedutaan besar AS pada hari
Selasa 10 Maret 2009. Morales, yang sering menyebut AS sebagai “Imperial”,
sebelumnya telah mengusir duta besar AS dan para pejabat anti-narkotika AS.
Jurubicara kedutaan itu mengatakan Martinez adalah seorang pejabat tingkat
menengah dan jabatannya adalah sekretaris kedua. Morales merasa bahwa
perusahaan-perusahaan negara yang dibangunnya sedang digembosi dan hal ini
direncanakan oleh Washington. Washington terlalu campur tangan dalam penentuan
perusahaan energi milik-negara di Bolivia seperti YPFB.
Tidak hanya itu, Pada bulan Januari 2009 Presiden Ekuador Rafael
Correa juga mengusir seorang pejabat kedutaan besar AS yang ia tuduh melakukan
hal yang sama seperti di Bolivia. Washiington merasa kurang senang dengan banyaknya
pendirian perusahaan negara dalam menangai kekayaan mineral di negara-negara
Amerika Latin. Washington sering memaksakan kehendak dengan banyak keterlibatan
CIA dalam dial-dial perusahaan-perusahaan minyak di kawasan tersebut. Correa
adalah sekutu dekat Morales, seperti Presiden Venezuela Hugo Chavez, yang
mengusir duta besar AS tahun lalu. Semua ketiga pemimpin sayap kiri itu
mengatakan AS telah campur- tangan dalam politik dalam negeri mereka.
Tahun 2007 yang lalu ketika presiden AS masih dijabat oleh George W
Bush yang berkunjung ke Sao Paolo juga mendapatkan hujatan dari rakyat Brasil
yang bermunculan di sepanjang jalan-jalan utama Sao Paolo. Para pemimpin
demontrasi akan mengajak puluhan ribu orang dalam aksi massa hari ini saat Bush
meresmikan kerja sama energi etanol dengan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da
Silva. Perusahaan AS di Brasil ini banyak mengambil kesempatan para petani
Brasil dan justru merugikan ekonomi Brasil dalam jangka panjang. Penyerapan
tenaga kerja oleh perusahaan tersebut tidak sebanding dengan matinya lahan
penghidupan petani yang jumlahnya hampir 100 kali lipat.
BAB 3. SIMPULAN
Amerika Selatan adalah kawasan yang terletak di Benua Amerika
sebelah selatan dan tersambung dengan Amerika Utara melalui Tanah Genting
Panama. Amerika Selatan terdiri dari beberapa negara, diantaranya:, Argentina,
Bolivia, Brasil, Chili, Kolombia, Ekuador, Kepulauan Falkland, Guyana Perancis,
Guyana, Paraguay, Peru, Georgia Selatan, Suriname, Uruguay, dan Venezuela.
Amerika Latin merupakan negara berkembang setelah Perang Dunia II. Negara ini
melakukan kerjasama dengan berbagai organisasi khususnya OPEC. Dengan melakukan
kerjasama OPEC, negara ini juga menjalin hubungan dengan negara maju. Proses kelahiran kerja sama Utara-Selatan diawali dari pertemuan
negara-negara penghasil minyak dengan negara-negara konsumen minyak pada
tanggal 7 April 1975 di Paris, Prancis.
Amerika Serikat dan Prancis sebagai pemrakarsa forum dialog Utara-Selatan
memandang perlu diadakan kerja sama antar negara-negara pengguna minyak dengan
negara-negara penghasil minyak. Hal ini guna menanggulangi terjadinya krisis
energi (minyak), krisis ekonomi, dan embargo minyak. Itikad disambut baik oleh
negara-negara penghasil minyak, sehingga mengahsilkan konferensi kerja sama
ekonomi internasional pada bulan Desember 1975 di Paris. Secara umum tujuan
forum Utara-Selatan adalah sebagai berikut:
a. Mengharmoniskan hubungan antara negara-negara industri dengan negara-negara
yang sedang berkembang. Tata perekonomian internasional telah menuntut suatu
orde baru yang memerlukan adanya dialog dan kerja sama antara pihak Utara
dengan pihak Selatan.
b. Mengikutsertakan partisipasi negara-negara berkembang dalam tatanan dan
hubungan ekonomi internasional. Untuk merealisasikan tujuan ini, negara
berkembang aktid dalam pengambilan keputusan di forum PBB dan di forum-forum di
luar PBB.
c. Untuk membagi keuntungan secara adil dari hasil perdagangan internasional.
Wilayah kawasan Amerika Selatan dapat diidentifikasi berdasarkan
klasifikasi konflik atau permasalahan tertentu berdasarkan beberapa dasar,
yakni konflik etnis, ideology politik, ekonomi perdagangan, keamanan, dan
hubungan luar negeri.
DAFTAR PUSTAKA
http://ms.wikipedia.org/wiki/Amerika_Latin. [Diakses 17 Mei 2014]
http://history-22.blogspot.com/2012/05/perkembangan-mutakhir-sejarah-dunia.html. [Diakses 17 Mei 2014]
http://petikdua.wordpress.com/2010/05/22/identifikasi-konflik-di-amerika-selatan/. [Diakses 17 Mei 2014]